Ingatlah Hari Ini

21 Januari – 6 Maret 2014. Empat puluh lima hari yang paling berkesan dalam hidupku. Empat puluh lima hari yang memberikanku banyak kenangan dan pelajaran berharga. Empat puluh lima hari di mana Tuhan mempertemukanku dengan mereka, sahabat-sahabat luar biasa yang kini menjadi keluarga kecilku.

Sudah cukup lama berlalu memang.. Tapi aku merasa cerita ini terlalu berharga untuk kusimpan sendiri. Akan kutuliskan di sini agar semua orang tahu, indahnya cerita yang telah kulalui ini 🙂

Semuanya berawal ketika pengumuman penempatan dan kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) diunggah di facebook. Dengan penuh rasa was-was aku mengecek file pengumuman itu, dan… “Kecamatan Sukowono Desa Pocangan.” Begitu yang tertulis di atas tabel di mana namaku berada.

Sukowono?  Pocangan? Ada ya di dunia ini tempat yang namanya kaya gitu? Aku bener-bener nggak tahu menahu di mana Sukowono dan Pocangan berada!

Kata “KKN” semakin terasa menyeramkan buatku ketika aku tahu bahwa desa Pocangan berada di perbatasan Bondowoso dan sangat jauh dari Jember kota. Desa pelosok, fasilitas minim, tempat tinggal nggak nyaman, jarang pulang… Pikiran-pikiran itu melintas dengan sendirinya dalam otakku dan membuatku semakin malas untuk melakukan KKN.

“Udah deh berdoa aja semoga tempatnya enak dan nyaman, biar kamu betah,” kata mama. Aku pikir bener juga sih.. Udah deh positive thinking aja dulu, belum tentu juga kan tempatnya nggak nyaman.

Tidak lama setelah pengumuan dirilis (kayak album aja dirilis), dunia facebook pun rame. Ya, semuanya pada rame ngumpulin temen-temen sekelompoknya buat kenalan dan koordinasi. Akupun mulai men-stalk satu persatu facebook teman sekelompokku. Mereka adalah:

  1. Risty Damayanti (ISIP/Sosiologi)
  2. Andy Kurniawan Firmansyah (Ekonomi/IESP)
  3. Sukma Juni Sisworo (Ekonomi/Manajemen)
  4. Fannia Inayati (Farmasi)
  5. Damayanti Ratnasari (Pertanian/Agroteknologi)
  6. Fijar Rizqi (Hukum)
  7. Akhmad Sidik (Sastra/Ilmu Sejarah)
  8. Denis Darmawan (Teknik/Teknik Elektro)
  9. Gerda Perkasa (Teknik/Teknik Sipil)

Setelah melakukan penstalkingan setidaknya aku bisa tahu wujud (?) mereka dan what kind of human they are.. hehehe. Oh iya kecuali Denis sih.. aku udah tahu dia duluan soalnya dia temen SMA ku.

Setelah saling kenalan dan tuker-tukeran nomor hape, akhirnya pada hari itu  (lupa tanggalnya) kami bersama seluruh mahasiswa KKN Kecamatan Sukowono mengadakan survey lokasi ke desa masing-masing. Aku berangkat ke LPM (Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat) bareng Fauzan temen kuliahku. Sesampainya di LPM aku melihat-lihat sekeliling, berusaha mencari sosok Denis di antara kerumunan mahasiswa KKN yang telah memadati LPM.

Akhirnya pandanganku terhenti pada seorang cowok bertubuh tambun berwajah familiar yang melambaikan tangan kepadaku. Itu Denis! Dia pun menghampiriku.

“Anak-anak yang lain mana?” tanyaku.

“Nggak tahu ya, kita tunggu aja dulu.”

Anyway, suatu keberuntungan bagiku bisa satu kelompok dengan teman SMA yaitu Denis. Meskipun semasa SMA kami nggak akrab tapi yah setidaknya…ada satu orang yang kenal lah. Hehe.

Beberapa saat kemudian anggota kelompokku lainnya berdatangan. Risty bersama suaminya dan Fannia bersama seorang cewek yang ternyata anggota kelompok lain. Untuk pertama kalinya kami saling bertegur sapa di dunia nyata (awalnya kan cuma di dunia maya). Hmm they’re all look nice! 🙂

Kami pun segera meluncur ke desa Pocangan sekitar pukul 10.00 WIJ (Waktu Indonesia Jember) ditemani gerimis kecil. Aku dibonceng Denis. Risty dan suaminya berada di depan memimpin perjalanan (soalnya mereka yang tahu Pocangan), sedangkan Fannia di belakang kami. Tidak lama setelah kami berangkat, Denis menghentikan motornya di tepi jalan tepat di depan seorang cowok yang tengah berdiri. Cowok itu menyerahkan sebuah map kepada Denis. Dia mengamatiku dan berbisik kepada Denis, “Siapa ini?”

Oke, saatnya berkenalan. Aku membuka kaca helm dan…

“Vivi,” ucapku ramah seraya menyodorkan tangan.

“Gerda,” jawab cowok itu sambil tersenyum lebar. Kami bersalaman.

Oh ternyata dia Gerda, kordes (koordinator desa) kami. Dia nggak bisa ikut survey jadi cuma menitipkan surat penugasan KKN ke Denis.

Perjalanan pun berlanjut. Lama…lama…dan…semakin lama. Hmmm jauh juga Pocangan ini. Tapi aku menikmati perjalanan sih. Sepanjang perjalanan kami banyak melewati sawah dan pepohonan. Makin jauh makin terasa nuansa desanya. Buat yang penasaran, nih aku kasih penampakan jalan menuju desa Pocangan.

 

20140120_101433

 

By the way, ternyata anggota gerombolan kami bertambah tanpa kusadari. Kalau awalnya cuma aku, Denis, Risty, dan Fania, sekarang ada ada dua cowok lagi. Yang satu bermotor Mega Pro dan satunya Honda Beat merah. Hmmm siapa ya mereka?

Lama kemudian, setelah melalui perjalanan panjang yang berkelok-kelok, mendaki gunung, lewati lembah dan sebrangi lautan, akhirnya kami mendarat di suatu balai desa yang tampak bersih dan cukup luas. Aku turun dari motor dan mengedarkan pandangan. Oh, jadi ini balai desa Pocangan… Selayaknya balai desa pada umumnya sih.

 

20140120_104551

 

Kami menghampiri dua orang pria yang sedang duduk-duduk santai di tengah pendopo. Tampaknya mereka adalah perangkat desa.,,dan ternyata memang benar. Kami berjabat tangan dan mulai mengobrol, menyampaikan maksud kedatangan kami. Bapak-bapak perangkat desa itu tampak baik dan ramah. Tapi tunggu dulu, sepertinya ada yang aneh dengan logat bicara mereka. Logat yang aneh namun cukup familiar buatku. Yap, Madura!

Desa Pocangan yang berbatasan langsung dengan Bondowoso, tentu saja seluruh penduduknya adalah suku Madura. Ah nggak papa, selama mereka masih bisa bahasa manusia normal (bahasa Indonesia), it’s okay!

Kami meneguk minuman yang disuguhkan. Kemudian aku teringat akan dua cowok asing yang mengendarai Mega Pro dan Honda Beat tadi. Mereka kini duduk di dekatku.

“Kenalan dong… Vivi,” ucapku ramah pada cowok bertubuh tinggi kurus si pengemudi Mega Pro seraya menyodorkan tangan.

Cowok itu buru-buru menuntaskan minumnya lalu menjabat tanganku. “Fijar.”

Perkenalan kulanjutkan ke cowok satunya. Ternyata dia bernama Andy.

Tak lama kemudian Pak Kades datang dengan mobilnya. Seorang pria yang mungkin berusia sekitar 55 tahun, dengan tubuh gemuk dan agak pendek, dan rambut yang mulai dipenuhi uban. Beliau menyambut kami dengan ramah. Kami pun bercengkerama sembari menunggu teman kami, Fannia dan Yanti yang masih berada di kantor kecamatan.

Emang sih tadi ada beberapa yang mampir kecamatan dulu, ada juga yang langsung ke desa. Aku, Denis, Risty, Fijar, dan Andy memilih untuk langsung ke desa…sedangkan Fannia yang di tengah perjalanan terpisah dengan kami singgah di kecamatan dulu. Kemudian Yanti langsung menyusul Fannia di kecamatan karena dia datang terlambat.

Satu jam kemudian Fannia dan Yanti baru tiba di balai desa Pocangan. Wajarlah untuk seorang cewek yang harus mencari-cari alamat sendiri, apalagi jalanan di desa lebih ‘membingungkan’ daripada jalanan kota. Aku berkenalan dengan Yanti, seorang cewek bertubuh pendek dan berjilbab. Itu artinya keempat cewek di sini semuanya berjilbab 🙂

Hanya ada 7 orang yang ikut survey pada hari itu yaitu aku, Fannia, Yanti, Risty, Denis, Fijar, dan Andy. Dan entah mengapa…aku langsung bisa akrab dengan mereka, apalagi cewek-ceweknya. Mereka semua tampak baik dan welcome, nggak ada yang judes atau semacamnya. Alhamdulillah, semoga ini pertanda baik.

Setelah dirasa cukup ramah tamahnya, kami meminta izin untuk melihat-lihat kondisi balai desa. Tempat yang akan menjadi rumah kami selama 45 hari ke depan tentunya perlu kami tinjau dulu.

Di sekitar pendopo ada banyak ruangan. Ruangan-ruangan sebelah kiri digunakan untuk ruang kerja perangkat desa, sedangkan yang sebelah kanan tidak dipakai. Pak Kades dan para perangkat desa mempersilahkan kami untuk menempati ruangan-ruangan sebelah kanan itu. Total ada 4 ruangan luas yang bisa kami tempati.

Aku mengamati satu per satu ruangan-ruangan itu, mengintip dari balik kaca jendela. Nothing special sih, cuma ruangan kosong berubin putih. Tapi cukup luas memang.

Tak lupa kami juga mengecek kamar mandi, tempat yang kedengarannya sepele namun sebenarnya menjadi prioritas penting ketika kita memilih tempat tinggal. Di sana hanya ada satu kamar mandi, dan ternyata kondisinya lumayan kok. Luas dan cukup bersih. Airnya juga lancar. Yah setidaknya aku bisa mandi dengan tenang.

Suasana desa Pocangan terasa tenang dan damai. Tenang? Mungkin ‘krik krik’ lebih tepatnya. Udaranya sejuk. Sesekali di depan balai desa lewatlah penduduk desa yang membawa tumpukan jerami atau tumpukan ranting kayu. Bapak-bapak tua yang mengayuh sepeda onthel. Segerombolan anak sekolah yang berjalan bersama dengan riang. Anak-anak kecil yang bermain bola. Mereka semua ada di sana, di sekitar balai desa Pocangan. Ya, ini benar-benar “desa”, tempat yang belum pernah kutinggali seumur hidupku apalagi selama satu setengah bulan.

Aku mulai berpikir, mampukah aku hidup disini? Tempat asing, suasana asing, jauh dari pertokoan, jauh dari ATM… Aku merasa pesimis tapi hanya bisa pasrah. Semoga KKN-ku menyenangkan. Semoga aku betah hidup di desa yang jauh dari peradaban ini.

***

            Hari itu Minggu sore sekitar pukul 16.00, Fannia menjemputku di kost. Kelompok kami akan berkumpul di double way UNEJ untuk membicarakan pembagian barang bawaan. Berhubung waktu survey kemarin nggak semuanya datang jadi kami memutuskan untuk bertemu pada hari itu.

Sesampainya di TKP kulihat sudah ada beberapa anak yang berkumpul. Mereka duduk melingkar di trotoar double way UNEJ. Mereka adalah Risty, Gerda, dan dua orang cowok yang entah siapa. Aku dan Fania segera bergabung kemudian menyalami mereka satu per satu, termasuk dua cowok unknown itu. Ternyata mereka adalah Sukma dan Sidik.

Awkward? Biasa aja sih. Nggak tahu kenapa ya, rasanya aku udah ‘klik’ sama mereka. Nggak ada malu-malu atau canggung atau semacamnya. Mungkin sifat supelku ini yang membuatku jadi cepat nyaman sama mereka, teman-teman baru yang sangat welcome. Ditambah lagi sikap pak kordes Gerda yang grapyak dan GJ semakin mencairkan suasana. Kami mulai bisa akrab satu sama lain, bahkan bercanda-bercanda ga jelas seakan sudah lama kenal. Semuanya rame dan ceria kecuali dua orang, Sidik dan Sukma. Kalau Sukma sih masih mending ya, yang parah itu Sidik. Dia diem aja gitu di pojokan, nyaris tak berekspresi. Hmmm sepertinya mereka adalah cowok yang pendiam…

Tidak lama kemudian datanglah si Yanti yang berlari ke arah kami, dengan nyawa yang masih belum penuh lantaran baru bangun tidur. Jadi ada 7 orang yang datang pada hari itu.

Dari hasil musyawarah aku kebagian membawa magic com, ember, baskom, keset, penggantung baju. Itu belum termasuk barang pribadi kayak kasur, laptop, peralatan makan, dan lain-lain. It’s okay.

Kami juga memutuskan untuk tidak tinggal di balai desa, tapi mencari kontrakan. Mencari rumah warga yang bisa disewakan gitu, biasanya ada kok. Tujuannya biar kami lebih nyaman aja, kalau di balai desa kan nggak bebas dan kondisi juga seadanya.

Keesokan paginya yaitu tepat H-1 penerjunan KKN, kami berkumpul lagi di tempat yang sama. Kali ini dengan membawa barang bawaan masing-masing, terutama barang yang besar-besar. Yap, kami siap pindahan! Semua barang diangkut dengan motor Tossa hasil sewaan suami Risty.

Kami pun bergegas meluncur ke Pocangan bersama si Tossa. Kali ini pemboncengku adalah Sukma.

Setibanya di balai desa, kami mendapati beberapa perangkat desa sedang mengecat tembok ruangan yang awalnya akan kami tempati. Ya, empat ruangan besar itu, mereka sedang mengecatnya. OMG.

Imbasnya apa? Tentu saja kami batal mencari kontrakan karena sangat tidak etis untuk menyia-nyiakan apa yang telah dipersiapkan tuan rumah, terlebih lagi ini di desa.

Selanjutnya kami mulai bersih-bersih dan menata barang-barang. Kami harus membuat calon ‘rumah’ kami ini senyaman mungkin. Inilah penampakan kamarku (kamar cewek) setelah ditata sedemikian rupa.

20140122_072557

Akhirnya posko kami (posko kelompok 71) pun siap huni! 🙂

***

            It’s the day. Hari penerjunan KKN gelombang I tahun ajaran 2013/2014.  21 Januari 2014. Hari di mana aku akan mulai menjadi gadis desa. Jauh dari rumah, jauh dari kost, jauh dari keluarga, jauh dari teman-teman kuliah, jauh dari semuanya. Berbagai pikiran ada di benakku saat itu. Aku sendiri nggak yakin apakah aku bisa melalui 45 hari ke depan dengan lancar. Apakah aku bisa betah. Aku hanya bisa berdoa mengharapkan yang terbaik, semoga desa Pocangan dan teman-teman kelompok 71 akan bersahabat denganku.

            Setelah selesai bersiap-siap aku keluar kamar dan menguncinya. Ada perasaan semacam, ‘Oh kamarku, aku tidak akan menempatimu selama satu setengah bulan ke depan. Aku tidak tahu apa aku akan merindukanmu.’  Kemudian aku keluar menghampiri Sukma yang sudah menungguku. Kami bergegas ke lapangan PKM UNEJ untuk menghadiri upacara penerjunan. Tinggal beberapa menit waktu yang tersisa.

Selama upacara berlangsung, entah apa yang kupikirkan. Pesimis, was-was, ragu, malas, semua bercampur menjadi satu. Aku masih nggak percaya hari ini akhirnya datang. KKN, mata kuliah wajib di universitasku yang sejak awal sangat tidak kusukai, akhirnya harus kulalui juga mulai hari ini.

Seusai upacara, kami berjalan bersama menuju parkiran. Saat itulah aku banyak berpapasan dengan teman-teman kuliahku. Mereka semua sama, batinku. Mereka juga akan merasakan brand new life sama seperti aku. Aku pasti akan merindukan mereka.

“Vi, jangan lupa loh ya bikin posdaya dance!” Begitu  canda Pras, teman yang memang sangat memahami naluri Kpop ku. Hahaha, ada-ada aja anak ini. Tapi boleh juga sih idenya :p

Pasukan 71 segera meluncur meninggalkan Jember setelah semua anggota terkumpul. Aku bersama Fannia, Yanti, Risty, Gerda, Sukma, Fijar, Denis, Sidik, dan Andy kali ini singgah di kantor kecamatan Sukowono terlebih dahulu untuk menghadiri acara penerjunan. Intinya dalam acara ini Pak Camat dan Bu DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) melepaskan kami untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada masyarakat Kecamatan Sukowono.

Seusai acara penerjunan yang membosankan kami berangkat ke desa masing-masing. Ada 5 desa yang menjadi lokasi KKN di Kecamatan Sukowono, yaitu desa Pocangan, Sukokerto, Sukosari, Baletbaru, dan Mojogemi. For your information, desa Pocangan merupakan desa yang paling jauh dan paling ujung jika dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Makanya banyak yang menjulukinya ‘desa di atas awan’.

Setibanya di balai desa Pocangan ada kegiatan lain yang telah menunggu kami yaitu serah terima mahasiswa KKN. Dalam acara ini Pak Kades memberikan petuahnya seputar KKN. Kami juga saling memperkenalkan diri dengan seluruh perangkat desa.

Penerjunan di kecamatan udah, serah terima di desa juga udah. Itu artinya seluruh kegiatan formal hari ini telah berakhir. Waktu yang tersisa kami gunakan untuk menata barang-barang (lagi), karena kemarin belum semuanya yang tertata.

Desa Pocangan, tempat yang awalnya tidak pernah kutahu keberadaannya, kini akan menjadi tempat tinggalku. Tempat tinggal kami bersepuluh. Mulai hari ini kelompok 71 akan hidup bersama sebagai keluarga, menjalankan tugas-tugas yang telah dibebankan oleh kampus kepada kami. Bismillah, kami akan mengabdi kepada masyarakat desa Pocangan mulai hari ini. Dan dari sinilah segala cerita itu dimulai 🙂

 

~TO BE CONTINUED~

5 thoughts on “Ingatlah Hari Ini

  1. wiiiih vivi……
    sepertinya cocok dibikin novel 🙂
    pasti bakalan sitik sing tuku.. hahaha
    apik kok apik… sambung lagiiii….. 🙂

  2. “Bersamamu kuhabiskan waktu
    Senang bisa mengenal dirimu
    Rasanya semua begitu sempurna
    Sayang untuk mengakhirinya”…

    Aku tak pernah menyangka dipertemukan dengan keluarga kecil seperti kalian. Awalnya aku juga benar2 takut menghadapi KKN, tp entah mengapa saat pertama kali bertemu kalian di LPM, aku merasa nyaman dan senang, tak ada lagi ketakutan dalam pikiranku. Ternyata firasatku benar, selama 1.5 bulan kita bersama, aku merasa mendapatkan sahabat dan saudara baru. Mbak Vivi, mbak yg punya zodiak sama denganku, jadi sering sehati maunya. Mbak Yanti, mbak yg paling rajin, semua dikerjakan sendiri sampai selesai. Mbak Risty, mbak yg paling baik dan lembut hatinya. Mas Andy, mas yg paling sabar menghadapi semua kejahilanku. Mas gerda, mas yg paling care, tempat berbagi cerita di posko dan selalu buat orang ketawa. Mas Fijar, mas yg selau menghibur dengan suara emasnya. Mas Sukma, mas pendiam yg asyik dan selalu mau klo diminta tolongi. Mas Denis, mas yg lucu dan ketawanya bikin orang lain ikut ketawa. Mas Sidik, mas yg sering aku minta tolongi dan selalu mau bantuin. Kalian akan selalu memiliki tempat di ruang memori kehidupanku. Makasi atas semua memori indahnya….

Leave a comment